Cerpen, Romance
Inilah
saat yang paling ku benci.
Saat di mana aku harus menjadi seorang
penguntit. Mengawasi seseorang hanya dengan sudut mataku, meski sesekali kuberanikan
diri untuk menatapnya. Pecundang! Hanya kata itu yang pantas kudapat.
Seperti
biasa, aku terlambat masuk kelas. Berlarian kecil agar terlihat lebih natural,
tetap saja aku selalu resah meski sudah biasa kulakukan.
Syukurlah
kali ini kegiatan belum dimulai. Tapi dimana dia? Kursi itu kosong, hening dan juga dingin.
Titik pertama yang kulihat, di mana
selalu kutemukan ketenangan di sekitarnya dan kini tempat itu benar benar
hampa.
Sial, sang
penguntit kehilangan target. Fikiran yang mulai berhamburan seraya menghela
nafas panjang. Apa yang terjadi? Dimana dia sekarang? Sakit kah.. atau
mungkin..
Selama
pelajaran berlangsung tak sekalipun aku memperhatikan guru, hanya terus
menelisik ke arah tempat duduknya.
Jenuh
membuatku muak.
Bel berbunyi;
aku beranjak dari tempat duduk sejenak menoleh masih pada kursi itu. Langkah
kaki yang pelan dan gemetar, kecewa dan cemas; hampir gila rasanya.
***
Hari
kembali larut mengantarkanku pada titik ternyaman untuk sejenak lepas dari
perasaan itu, perasaan yang entah apa penyebabnya. Di mana semuanya terasa
serba salah, ribuan kali coba ku blokir fikiran itu, kurasa itu terlalu kuat
untuk dihadang.
Dalam
secangkir kopi kutuangkan semua beban. Pahit memang.. setidaknya itu mudah,
hanya tinggal kuteguk perlahan sebelum hangatnya memendar, dan itulah kenyataan
serupa ampas kopi yang tertinggal, kesepian jua tak diinginkan.
Malam
sangat indah, cukup sempurna untuk rasi bintang bergeser dari porosnya. Tanpa
sengaja mataku memjam, batinku bergeming—berdo’a.
“Tuhan.. aku tahu Engkau di sana, melihat dan
mendengar semua mahkluk yang dengan senang hati meminta. Dan sekarang.. Tuhan,
aku lelah terus mengurung diri. Ku harap di malam berikutnya akan ada dua
cangkir kopi di atas meja sana, membiarkanku menikmatinya bersama orang yang ku
cinta. Berjanjilah Tuhan, Engkau akan mengirim satu malaikatmu untuk
menemaniku, menemani secangkir kopi yang selalu membisu dan untuk sekedar
berbincang denganku—melarikan diri dari sepi ini.”
Aku yakin
Tuhan sedang tersenyum sekarang, mendengar impian seorang gadis yang begitu
konyol dan menggelikan, tidak apa apa. Tapi ingat, satu saja.. Kau harus
mengirimkannya, khusus untukku. Dan sebelum dia datang, aku yang akan terus
datang pada-Mu.
***
Kali ini
aku datang lebih awal, barangkali untuk menebus penguntitanku yang hilang.
Benar saja, kursi itu tak seperti kemarin; tak lagi hening dan dingin. Sosok tenang penuh karisma duduk bersandar dengan headset menggantung pada daun telinga, itu yang kurindukan. Aku tersenyum sumringah, membuat orang yang melihatnya sedikit mengrenyitkan dahi.
Benar saja, kursi itu tak seperti kemarin; tak lagi hening dan dingin. Sosok tenang penuh karisma duduk bersandar dengan headset menggantung pada daun telinga, itu yang kurindukan. Aku tersenyum sumringah, membuat orang yang melihatnya sedikit mengrenyitkan dahi.
Kali ini apa yang ia baca? Dibalik tingkahnya
yang tenang ia selalu ditemani oleh buku-buku yang setiap hari berbeda. Ia
terlalu tenang; seperti sebuah danau tanpa bayangan, aku makin sulit menerka
hanya sedikit mengira-ngira. Untuk beberapa detik kami bertemu pandang, tepat
di bola matanya; menyusuri apa yang difikirkan pria setenang itu? Mengejutkan. Seperti
ada yang terkurung di sana, di dalam mata bulatnya.
Darrr..!!
Hanya
beberapa detik, yang membuatku begitu penasaran. Ingin rasanya menyusuri lebih
jauh ketenangan di balik mata bulatnya. Tidak, aku segera menarik diri.
Justru
itu.. bola mataku yang tak pernah sedikit lebih diam, ribuan kali mendelik
dengan perasaan takut juga mendebarkan. Bibir yang mengatup rapat menutupi gigi
gemetaran, kaki yang hampir meloncat-loncat; rasanya aku ingin berlari kearahnya
berbisik dengan lantang atau apapun kalian menyebutnya aku sangat ingin teriakkk..
Tiba-tiba
suasana ramai, gelak tawa mereka begitu lepas. Aku tersentak, segera melarikan
diri dari lamunan yang tak berkesudahan itu.
Kenapa
mereka? Apa aku ketinggalan berita, lelucon atau semacamnya?
Tidak! itu
petaka, bibirku tak begitu kuat menekan suara yang sekian lama meronta-ronta.
Rupanya teriakkan itu bukan khayalan, aku melepaskan sebagian geminganku.
Bodoh, tolol.
Apa yang kamu lakukan...
Malam
kembali menyelimuti. Seperti janjiku pada Tuhan, aku yang akan selalu datang
jika Ia belum mengirimkan salah seorang malaikatnya aku akan terus datang,
selalu.
Aku merasa
begitu bodoh sekarang. Tiada yang lebih kuinginkan selain dia, tapi
keberanianku sudah punah.
“ Tuhan..
apa yang sedang ia fikirkan sekarang? Kuharap untuk sejenak ia lupa ingatan,
melupakan teriakkan itu, teriakkan yang justu melumpuhkan keberanianku.
Mustahil rasanya, sekarang.. sungguh aku lelah. Ambil saja nyawanya agar aku
tak perlu terus berdo’a untuknya melupakan kebodohanku.”
Waktu
bergulir begitu cepat, sinar mentari telah menerobos celah celah kecil di
kamarku sebelum akhirnya aku memaksakan diri beranjak dari tempat tidur. Aku
terdiam linglung, sedikit mengingat pintaku pada Tuhan semalam.
Bukan pagi yang indah, mentari tampak redup; semilir angin mengibas helaian rambutku.
Bukan pagi yang indah, mentari tampak redup; semilir angin mengibas helaian rambutku.
“Apa ini?
Tak seperti pagi” Sang angin menghembuskan hawa panas.
***
Kali ini
lebih gila, aku hampir mati rasa; kepalaku serasa kosong semuanya pergi,
kecewa, sedih, gelisah, bahkan rindu dan juga malu, renjana ini makin pilu
rasanya. Semua itu hilang; hilang tergantikan dengan jiwa yang terguncang,
hancur warasku. Untuk
pertamakalinya Tuhan mendengar harapan itu. Mengapa Tuhan, mengapa..
Tidakkah
Engkau puas menjadikanku gadis penguntit yang kesepian, yang hanya dapat hidup
dengan lamunan, yang hanya bisa meluapkan emosinya pada lembaran diary tak
bertuan. Kini aku berfikir Engkau begitu kejam, mengasingkanku dari segala
jenis kebahagiaan.
Suara
itu.. kini aku berharap aku saja yang tuli, mendengar berita kematian Reyhan.
Tak sepatah katapun mampu aku ucapkan, suara yang dulu begitu meronta-ronta
seperti sandera yang mencoba melepaskan diri dari kekangan; kemana mereka
semua. Kurasa mereka hanya bersembunyi yang pada akhirnya kembali dengan lebih
memberatkan.
“Rey kamu
tahu.. aku hidup hanya untuk kamu, meski di setiap kesempatanku hanya tindakan
bodoh yang kuperlihatkan, melebihi segalanya aku menyukai ketenanganmu. Lantas
setelah kamu tiada seberapa banyak yang harus aku keluarkan untuk menebus jiwa
yang sudah ku relakan bersamamu, sebab raga ini masih disini, tersungkur
lunglai serupa kapas terguyur embun.”
Seharusnya
kamu yang penasaran, itupun jika kamu cukup peduli, bahkan mengenalku mungkin
itu tertalu sepele bagimu.
Aku
bergegas menuju tempat itu, dituntun kabar burung yang simpang siur.
Nihil; nampak sepi dan biasa saja.
Tunggu,
tidak. Hanya sebuah buku biru tua dengan sedikit bercak darah.
“uhh..
terkunci”
Bukan, ini
bukan Reyhan. Seperti menyembur dari sungai dalam hati, air mata ini mewakilkan
lidahku yang kelu.
Matahari
hampir pulang ke peraduan, hangat; rona jingga yang menenangkan. Daun jendela kubiarkan terbuka, aku yakin
Reyhan datang.
Menunggu.
Menunggu.
“lihat
sepasang cangkir kopi itu; kita akan meneguknya bersama kan Rey.”
Rona
jingga yang ke sekian Reyhan belum juga datang. Belasan cangkir kopi berjejer
di kamarku, menjijikan. Dingin, hambar dan hampir basi.
Masih
dalam penantian, keyakinan itu makin mendarah daging.
“Rey, aku
paham mungkin kamu sibuk.” Lagi dan terus menambah, dua cangkir kopi layaknya
sempoa, menghitung hari; lihat saja berapa pasang yang tersanding di sana. Begitu
seterusnya.
Aku menyerah.. Rehyan takkan datang.
Aku menyerah.. Rehyan takkan datang.
“Nin? Kamu
salah” terdengar samar.
“aku
datang. kemarilah duduk di sampingku. Itu kan, yang selalu kamu minta dari
Tuhan? Berapa pun waktunya kita akan mengabiskan semua cangkir kopi itu sebelum
benar-benar basi.”
Ku rasa
memang sudah.
Tapi lihatlah, jantungku serasa mengambang
detaknya terdengar lemah. Aku tak ingin bicara; tidak.
“Nina,
dengarkan aku; aku nyata! Pergilah ke suatu tempat, aku tau ini bukan kamu.
Jangan biarkan dirimu mati perlahan dibungkam kesepian.”
Tentu aku
mendengarmu, meski aku tak tau apa yang kau ucapkan; aku sakau Rey. Telingaku
tergetar oleh ribuan suara, tapi semuanya terdengar sama. Apa pun itu, aku
menikmati ini; sangat menikmati.
“Tolonglah..
kali ini aku yang memohon, kamu harus sembuh dan bahagia demi ketenanganku.”
Sembuh?
Demi kamu? Aku tidak gila Rey, apa aku salah? hanya dengan menantimu aku dianggap
tidak waras.
Tanpa suara selalu kujawab setiap pertanyaannya.
Tanpa suara selalu kujawab setiap pertanyaannya.
“Rey..
Reyhan?” aku terbangun (?)
Elegi ini,
sampai kapan kau meraung tepat di telingaku?
Apa ini? Kemana ia pergi, tak ada yang berubah; setiap cangkir kopi masih terisi penuh. Hanya tercium aromanya yang semakin basi.
Apa ini? Kemana ia pergi, tak ada yang berubah; setiap cangkir kopi masih terisi penuh. Hanya tercium aromanya yang semakin basi.
Reyhan
benar, aku hanya gadis penguntit yang menjadi gila. Melewati hari hanya dengan
menanti orang mati untuk datang. Jangankan sekarang, kemarinpun Reyhan tak
pernah tahu aku menyukainya.
“Sejak
kapan kalung ini melingkari leherku? Ahh mungkin sebelum aku depresi hingga
akhirnya gila”
Tidak, aku
tidak pernah gila.
Kalung ini asing. Tali hitam dengan
liontin kunci mungil (?)
“Hhaaahhh..
cukup aku lelah! Untuk apa kau disini? Barisan cangkir kopi yang terlihat
dungu!”
Makin
kalut; ku pecahkan semua cangkir kopi itu. Toh untuk apa; hingga aku menua aku
tetap tak bisa meneguknya bersamamu.
“Anggap
saja kotak pandora, setelah itu terbuka kamu akan tau semuanya. - Liontin
dengan bercak darah.”
Berbisik;
hingga hampir memecahkan gendang telinga.
“Kotak
pandora? Liontin dengan bercak darah?” sedikit heran, tapi kurasa aku paham.
“Benar..
buku itu, dimana dia?”
6 bulan
yang lalu terakhir kali aku menata kamar, lebih terlihat seperti sarang
manusia; bukan rumah. Ditambah lagi pecahan beling, makin mirip ranjau kurasa.
“ini dia..
tunggu, liontin dengan bercak darah.” Akhirnya ku buka, buku biru tua itu milik
Reyhan. Tapi bagaimana liontin ini?” Mungkin itu juga.
“Tidak,
ini tidak nyata; bahkan mustahil”
Bagaimana
bisa, setiap lembar buku itu hanya berisi.. gambaran diriku, lengkap; setiap
ekspresi ia melukisnya? Reyhan? Melihatku?
“Lalu apa,
kau juga seorang penguntit? Ada apa dengan dirimu, yang kamu lakukan hanya diam
yang terlalu tenang.”
Benar-benar
sebuah pandora.
Seminggu
berlalu, setelah berbulan-bulan kandang ini kembali seperti kamar. Udara yang
bersih, cahaya, angin musim semi, bahkan elegi itu enyah.
Reyhan
memintaku pergi; menyaksikan dunia yang terus berputar saat aku terisolasi.
Semuanya berubah, bahkan lebih indah dari yang ku bayangkan.
Satu yang
ku ingat, suara-suara itu terdengar sama. Tidak dengan beberapa kalimat;
“ragaku yang pergi, tapi aku tetap di sini. Dalam cangkir kopimu, lihat; ia
tenang seperti danau tanpa bayangan. Menenangkan dan akan tetap menghangatkan.”
Untuk
pertamakalinya aku berkunjung ke makam Reyhan, sulit dipercaya bahkan ini
terlalu lama; hingga aku sadar.
“Rey, aku
sembuh! Aku bahagia!! Maaf karena datang terlambat.”
Sengaja
tak kutaruh karangan bunga, hanya sedikit menyingkirkan rumput kecil di atas
tanah yang hampir kering. Karena di sini, Reyhan tidak benar-benar mati; akan
terus ada selalu di sini, - dalam hati.
Kurasa
sekarang Reyhan sangat tenang, ia tak lagi muncul sebagai bayangan. Bahkan aku
berhenti menanti.
~ Sekarang aku paham, kita; Reyhan dan Nina. Dilahirkan untuk memiliki rasa, meski tak saling mengungkap
nyatanya itulah Cinta. Goresan takdir berkata lain, mengasihi; bukan dengan
memiliki. Kau dengan alam-mu, aku masih dalam duniaku. ~
Perlahan-lahan
aku belajar berjalan, dengan lembaran baru dalam diaryku. Tidak lagi sebagai
seorang penguntit; melainkan seseorang yang bebas tanpa batas.
“Rey, aku
pergi dari sini. Tenanglah aku sungguh semakin sembuh”
Dengan
kehidupan yang baru; MAHAMERU. Yaa aku berada di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Dari sekian
banyak harapanku salah satunya adalah mendaki.
Sebelum semua ini terjadi, aku sempat berfikir menaklukan puncak Mahameru ini bersama, tentunya setelah kita lebih dekat. Sudahlah..
Sebelum semua ini terjadi, aku sempat berfikir menaklukan puncak Mahameru ini bersama, tentunya setelah kita lebih dekat. Sudahlah..
“Ya tuhan,
aku pergi tanpa gelas.” Lupa, atau mungkin (?) apalah lebih tepatnya.
Tak jauh
dari tempat aku berhenti, ada banyak kios souvenir di sana. Nampak dari balik kaca
lebar; tumpukkan gelas.
Tak banyak
yang ku cari, hanya sepasang gelas. Di sana.. aku mulai memilih.
Tiba-tiba-
Tiba-tiba-
Seseorang
menjulurkan tangan pada gelas yang sama.
“kali ini
gelang? Tali hitam dengan kunci mungil yang menggantung” gemingku, hampir
bersuara.
Aku mulai
mendongak perlahan..
“mata
itu.. Rey, Reyhan?”
-
TBC -