Saturday, February 20, 2016

Kunci Mungil



Cerpen, Romance


Inilah saat yang paling ku benci.                                                                                                           
Saat di mana aku harus menjadi seorang penguntit. Mengawasi seseorang hanya dengan sudut mataku, meski sesekali kuberanikan diri untuk menatapnya. Pecundang! Hanya kata itu yang pantas kudapat.
Seperti biasa, aku terlambat masuk kelas. Berlarian kecil agar terlihat lebih natural, tetap saja aku selalu resah meski sudah biasa kulakukan.
Syukurlah kali ini kegiatan belum dimulai. Tapi dimana dia?  Kursi itu kosong, hening dan juga dingin. Titik pertama yang kulihat, di  mana selalu kutemukan ketenangan di sekitarnya dan kini tempat itu benar benar hampa.
Sial, sang penguntit kehilangan target. Fikiran yang mulai berhamburan seraya menghela nafas panjang. Apa yang terjadi? Dimana dia sekarang? Sakit kah.. atau mungkin..
Selama pelajaran berlangsung tak sekalipun aku memperhatikan guru, hanya terus menelisik ke arah tempat duduknya.
Jenuh membuatku muak.
Bel berbunyi; aku beranjak dari tempat duduk sejenak menoleh masih pada kursi itu. Langkah kaki yang pelan dan gemetar, kecewa dan cemas; hampir gila rasanya.
***
Hari kembali larut mengantarkanku pada titik ternyaman untuk sejenak lepas dari perasaan itu, perasaan yang entah apa penyebabnya. Di mana semuanya terasa serba salah, ribuan kali coba ku blokir fikiran itu, kurasa itu terlalu kuat untuk dihadang.
Dalam secangkir kopi kutuangkan semua beban. Pahit memang.. setidaknya itu mudah, hanya tinggal kuteguk perlahan sebelum hangatnya memendar, dan itulah kenyataan serupa ampas kopi yang tertinggal, kesepian jua tak diinginkan.
Malam sangat indah, cukup sempurna untuk rasi bintang bergeser dari porosnya. Tanpa sengaja mataku memjam, batinku bergeming—berdo’a.
 “Tuhan.. aku tahu Engkau di sana, melihat dan mendengar semua mahkluk yang dengan senang hati meminta. Dan sekarang.. Tuhan, aku lelah terus mengurung diri. Ku harap di malam berikutnya akan ada dua cangkir kopi di atas meja sana, membiarkanku menikmatinya bersama orang yang ku cinta. Berjanjilah Tuhan, Engkau akan mengirim satu malaikatmu untuk menemaniku, menemani secangkir kopi yang selalu membisu dan untuk sekedar berbincang denganku—melarikan diri dari sepi ini.”
Aku yakin Tuhan sedang tersenyum sekarang, mendengar impian seorang gadis yang begitu konyol dan menggelikan, tidak apa apa. Tapi ingat, satu saja.. Kau harus mengirimkannya, khusus untukku. Dan sebelum dia datang, aku yang akan terus datang pada-Mu.
***
Kali ini aku datang lebih awal, barangkali untuk menebus penguntitanku yang hilang.                                          
Benar saja, kursi itu tak seperti kemarin; tak lagi  hening dan dingin. Sosok tenang penuh karisma duduk bersandar dengan headset menggantung pada daun telinga, itu yang kurindukan. Aku tersenyum sumringah, membuat orang yang melihatnya sedikit mengrenyitkan dahi.
 Kali ini apa yang ia baca? Dibalik tingkahnya yang tenang ia selalu ditemani oleh buku-buku yang setiap hari berbeda. Ia terlalu tenang; seperti sebuah danau tanpa bayangan, aku makin sulit menerka hanya sedikit mengira-ngira. Untuk beberapa detik kami bertemu pandang, tepat di bola matanya; menyusuri apa yang difikirkan pria setenang itu? Mengejutkan. Seperti ada yang terkurung di sana, di dalam mata bulatnya.
Darrr..!!
Hanya beberapa detik, yang membuatku begitu penasaran. Ingin rasanya menyusuri lebih jauh ketenangan di balik mata bulatnya. Tidak, aku segera menarik diri.
Justru itu.. bola mataku yang tak pernah sedikit lebih diam, ribuan kali mendelik dengan perasaan takut juga mendebarkan. Bibir yang mengatup rapat menutupi gigi gemetaran, kaki yang hampir meloncat-loncat; rasanya aku ingin berlari kearahnya berbisik dengan lantang atau apapun kalian menyebutnya aku sangat ingin teriakkk..
Tiba-tiba suasana ramai, gelak tawa mereka begitu lepas. Aku tersentak, segera melarikan diri dari lamunan yang tak berkesudahan itu.
Kenapa mereka? Apa aku ketinggalan berita, lelucon atau semacamnya?
Tidak! itu petaka, bibirku tak begitu kuat menekan suara yang sekian lama meronta-ronta. Rupanya teriakkan itu bukan khayalan, aku melepaskan sebagian geminganku.
Bodoh, tolol. Apa yang kamu lakukan...
Malam kembali menyelimuti. Seperti janjiku pada Tuhan, aku yang akan selalu datang jika Ia belum mengirimkan salah seorang malaikatnya aku akan terus datang, selalu.
Aku merasa begitu bodoh sekarang. Tiada yang lebih kuinginkan selain dia, tapi keberanianku sudah punah.
“ Tuhan.. apa yang sedang ia fikirkan sekarang? Kuharap untuk sejenak ia lupa ingatan, melupakan teriakkan itu, teriakkan yang justu melumpuhkan keberanianku. Mustahil rasanya, sekarang.. sungguh aku lelah. Ambil saja nyawanya agar aku tak perlu terus berdo’a untuknya melupakan kebodohanku.”
Waktu bergulir begitu cepat, sinar mentari telah menerobos celah celah kecil di kamarku sebelum akhirnya aku memaksakan diri beranjak dari tempat tidur. Aku terdiam linglung, sedikit mengingat pintaku pada Tuhan semalam.                                                                                                          
Bukan pagi yang indah, mentari tampak redup; semilir angin mengibas helaian rambutku.
“Apa ini? Tak seperti pagi” Sang angin menghembuskan hawa panas.
***
Kali ini lebih gila, aku hampir mati rasa; kepalaku serasa kosong semuanya pergi, kecewa, sedih, gelisah, bahkan rindu dan juga malu, renjana ini makin pilu rasanya. Semua itu hilang; hilang tergantikan dengan jiwa yang terguncang, hancur warasku. Untuk pertamakalinya Tuhan mendengar harapan itu. Mengapa Tuhan, mengapa..
Tidakkah Engkau puas menjadikanku gadis penguntit yang kesepian, yang hanya dapat hidup dengan lamunan, yang hanya bisa meluapkan emosinya pada lembaran diary tak bertuan. Kini aku berfikir Engkau begitu kejam, mengasingkanku dari segala jenis kebahagiaan.
Suara itu.. kini aku berharap aku saja yang tuli, mendengar berita kematian Reyhan. Tak sepatah katapun mampu aku ucapkan, suara yang dulu begitu meronta-ronta seperti sandera yang mencoba melepaskan diri dari kekangan; kemana mereka semua. Kurasa mereka hanya bersembunyi yang pada akhirnya kembali dengan lebih memberatkan.
“Rey kamu tahu.. aku hidup hanya untuk kamu, meski di setiap kesempatanku hanya tindakan bodoh yang kuperlihatkan, melebihi segalanya aku menyukai ketenanganmu. Lantas setelah kamu tiada seberapa banyak yang harus aku keluarkan untuk menebus jiwa yang sudah ku relakan bersamamu, sebab raga ini masih disini, tersungkur lunglai serupa kapas terguyur embun.”
Seharusnya kamu yang penasaran, itupun jika kamu cukup peduli, bahkan mengenalku mungkin itu tertalu sepele bagimu.
Aku bergegas menuju tempat itu, dituntun kabar burung yang simpang siur.                                                    Nihil; nampak sepi dan biasa saja.
Tunggu, tidak. Hanya sebuah buku biru tua dengan sedikit bercak darah.
“uhh.. terkunci”
Bukan, ini bukan Reyhan. Seperti menyembur dari sungai dalam hati, air mata ini mewakilkan lidahku yang kelu.
Matahari hampir pulang ke peraduan, hangat; rona jingga yang menenangkan.                                        Daun jendela kubiarkan terbuka, aku yakin Reyhan datang.                                                         
Menunggu.
“lihat sepasang cangkir kopi itu; kita akan meneguknya bersama kan Rey.”
Rona jingga yang ke sekian Reyhan belum juga datang. Belasan cangkir kopi berjejer di kamarku, menjijikan. Dingin, hambar dan hampir basi.
Masih dalam penantian, keyakinan itu makin mendarah daging.
“Rey, aku paham mungkin kamu sibuk.” Lagi dan terus menambah, dua cangkir kopi layaknya sempoa, menghitung hari; lihat saja berapa pasang yang tersanding di sana. Begitu seterusnya.     

Aku menyerah.. Rehyan takkan datang.
“Nin? Kamu salah” terdengar samar.         
“aku datang. kemarilah duduk di sampingku. Itu kan, yang selalu kamu minta dari Tuhan? Berapa pun waktunya kita akan mengabiskan semua cangkir kopi itu sebelum benar-benar basi.”
Ku rasa memang sudah.                                                                                                                         Tapi lihatlah, jantungku serasa mengambang detaknya terdengar lemah. Aku tak ingin bicara; tidak.
“Nina, dengarkan aku; aku nyata! Pergilah ke suatu tempat, aku tau ini bukan kamu. Jangan biarkan dirimu mati perlahan dibungkam kesepian.”
Tentu aku mendengarmu, meski aku tak tau apa yang kau ucapkan; aku sakau Rey. Telingaku tergetar oleh ribuan suara, tapi semuanya terdengar sama. Apa pun itu, aku menikmati ini; sangat menikmati.
“Tolonglah.. kali ini aku yang memohon, kamu harus sembuh dan bahagia demi ketenanganku.”
Sembuh? Demi kamu? Aku tidak gila Rey, apa aku salah? hanya dengan menantimu aku dianggap tidak waras.                                                                                                                                               
Tanpa suara selalu  kujawab setiap pertanyaannya.
“Rey.. Reyhan?” aku terbangun (?)
Elegi ini, sampai kapan kau meraung tepat di telingaku?                                                                      
Apa ini? Kemana ia pergi, tak ada yang berubah; setiap cangkir kopi masih terisi penuh. Hanya tercium aromanya yang semakin basi.
Reyhan benar, aku hanya gadis penguntit yang menjadi gila. Melewati hari hanya dengan menanti orang mati untuk datang. Jangankan sekarang, kemarinpun Reyhan tak pernah tahu aku menyukainya.
“Sejak kapan kalung ini melingkari leherku? Ahh mungkin sebelum aku depresi hingga akhirnya gila”
Tidak, aku tidak pernah gila.                                                                                                                 Kalung ini asing. Tali hitam dengan liontin kunci mungil (?)
“Hhaaahhh.. cukup aku lelah! Untuk apa kau disini? Barisan cangkir kopi yang terlihat dungu!”
Makin kalut; ku pecahkan semua cangkir kopi itu. Toh untuk apa; hingga aku menua aku tetap tak bisa meneguknya bersamamu.
“Anggap saja kotak pandora, setelah itu terbuka kamu akan tau semuanya. - Liontin dengan bercak darah.”
Berbisik; hingga hampir memecahkan gendang telinga.
“Kotak pandora? Liontin dengan bercak darah?” sedikit heran, tapi kurasa aku paham.
“Benar.. buku itu, dimana dia?”
6 bulan yang lalu terakhir kali aku menata kamar, lebih terlihat seperti sarang manusia; bukan rumah. Ditambah lagi pecahan beling, makin mirip ranjau kurasa.
“ini dia.. tunggu, liontin dengan bercak darah.” Akhirnya ku buka, buku biru tua itu milik Reyhan. Tapi bagaimana liontin ini?” Mungkin itu juga.
“Tidak, ini tidak nyata; bahkan mustahil”
Bagaimana bisa, setiap lembar buku itu hanya berisi.. gambaran diriku, lengkap; setiap ekspresi ia melukisnya? Reyhan? Melihatku?
“Lalu apa, kau juga seorang penguntit? Ada apa dengan dirimu, yang kamu lakukan hanya diam yang terlalu tenang.”
Benar-benar sebuah pandora.
Seminggu berlalu, setelah berbulan-bulan kandang ini kembali seperti kamar. Udara yang bersih, cahaya, angin musim semi, bahkan elegi itu enyah.
Reyhan memintaku pergi; menyaksikan dunia yang terus berputar saat aku terisolasi. Semuanya berubah, bahkan lebih indah dari yang ku bayangkan.
Satu yang ku ingat, suara-suara itu terdengar sama. Tidak dengan beberapa kalimat; “ragaku yang pergi, tapi aku tetap di sini. Dalam cangkir kopimu, lihat; ia tenang seperti danau tanpa bayangan. Menenangkan dan akan tetap menghangatkan.”
Untuk pertamakalinya aku berkunjung ke makam Reyhan, sulit dipercaya bahkan ini terlalu lama; hingga aku sadar.
“Rey, aku sembuh! Aku bahagia!! Maaf karena datang terlambat.”
Sengaja tak kutaruh karangan bunga, hanya sedikit menyingkirkan rumput kecil di atas tanah yang hampir kering. Karena di sini, Reyhan tidak benar-benar mati; akan terus ada selalu di sini, - dalam hati.
Kurasa sekarang Reyhan sangat tenang, ia tak lagi muncul sebagai bayangan. Bahkan aku berhenti menanti.
~ Sekarang aku paham, kita; Reyhan dan Nina. Dilahirkan untuk memiliki rasa, meski tak saling mengungkap nyatanya itulah Cinta. Goresan takdir berkata lain, mengasihi; bukan dengan memiliki. Kau dengan alam-mu, aku masih dalam duniaku. ~ 
Perlahan-lahan aku belajar berjalan, dengan lembaran baru dalam diaryku. Tidak lagi sebagai seorang penguntit; melainkan seseorang yang bebas tanpa batas.

“Rey, aku pergi dari sini. Tenanglah aku sungguh semakin sembuh”
Dengan kehidupan yang baru; MAHAMERU. Yaa aku berada di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Dari sekian banyak harapanku salah satunya adalah mendaki.                                                         
Sebelum semua ini terjadi, aku sempat berfikir menaklukan puncak Mahameru ini bersama, tentunya setelah kita lebih dekat.                                                                                                                                   Sudahlah..
“Ya tuhan, aku pergi tanpa gelas.” Lupa, atau mungkin (?) apalah lebih tepatnya.
Tak jauh dari tempat aku berhenti, ada banyak kios souvenir di sana.                                                   Nampak dari balik kaca lebar; tumpukkan gelas.
Tak banyak yang ku cari, hanya sepasang gelas. Di sana.. aku mulai memilih.                                 
 Tiba-tiba-
Seseorang menjulurkan tangan pada gelas yang sama.
“kali ini gelang? Tali hitam dengan kunci mungil yang menggantung” gemingku, hampir bersuara.
Aku mulai mendongak perlahan..
“mata itu.. Rey, Reyhan?”
- TBC -